sultra.tribratanews.com – Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara (Polda Sultra) pertanyakan putusan hakim tunggal praperadilan Achmad Wahyu Utomo, S.H., M.H yang membatalkan sprindik penetapan tersangka Risky Afif Ishak sebagai pemohon dalam perakara kasus ITE.
Diberitakan sebelumnya, Wakil Ketua Bidang Pemberantasan Korupsi DPD Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kota Baubau, Risky Ishak ditetapkan jadi tersangka oleh Kepolisan Daerah (Polda) Sulawesi Tenggara (Sultra) pada Jumat 30 Oktober 2020.
Risky ditetapkan sebagai tersangka oleh Dit Reskrimsus Polda Sultra melalui surat ketetapan nomor S.Tap/18/X/2020/ Dit Reskrimsus tertanggal 26 Oktober 2020 karena dianggap tak berhak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Ia disangkakan melanggar Pasal 45 ayat (3) Jo Pasal 27 ayat (3) UU RI nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik atau Pasal 310 ayat (1) dan (2) atau Pasal 311 ayat (1) KUHP.
Dikabulkannya permohonan Pemohon tentang tidak sahnya penetapan Tersangka terhadap Pemohon yang dilakukan Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara selaku Termohon melampaui kewenangan/abuse of power.
Dalam pertimbanganya Hakim Tunggal Praperadilan membatalkan Sprindik dan penetapan Tersangka pemohon karena didasarkan pada masa daluwarsa mengenai kapan terjadinya tindak pidana dan kapan dilakukan laporan oleh korban/pelapor di Polres Baubau dan Polda Sulawesi Tenggara, sedangkan mengenai daluwarsa telah memasuki materi pokok perkara dan bukan materi pemeriksaan dalam ruang lingkup Praperadilan.
Mengenai sah tidaknya penetapan Tersangka dalam pranata Praperadilan telah ditegaskan dalam Putusan MK No.21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015.
Selanjutnya sebagai tindak lanjut dari Putusan MK tersebut telah ditegaskan pula dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2016.
Berdasarkan kaidah tersebut sudah sangat jelas dan tidak bisa ditafsirkan lagi bahwa pemeriksaan mengenai sah tidaknya penetapan Tersangka dalam pranata Praperadilan hanya terbatas menilai aspek formil bukan memasuki materi perkara.
Apalagi berkas perkara tersangka Rizky Afif Ishak sebagai pemohon telah dinyatakan lengkap (P-21) oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara, ini bermakna penetapan tersangka terhadap Pemohon telah didasarkan pada bukti permulaan yang cukup dan telah melalui serangkaian penelitian oleh Jaksa Penuntut Umum, sehingga secara formil tidak ada lagi keragu-raguan mengenai ada tidaknya 2 (dua) alat bukti yang sah dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka.
Namun faktanya, Hakim Tunggal Praperadilan justru bukan memeriksa aspek formil ada tidaknya 2 (dua) alat bukti yang sah, namun telah memasuki materi perkara dan mempertimbangkan dalil-dalil pemohon lainnya dimana secara yuridis bukanlah kewenangan Hakim Tunggal Praperadilan atau bukan materi pemeriksaan dalam ruang lingkup Praperadilan.
Jika Hakim obyektif dan tegak lurus sebagaimana kaidah hukum tersebut diatas, semestinya permohonan Pemohon haruslah ditolak karena berdasarkan fakta persidangan dan alat bukti yang diajukan oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara selaku Termohon telah dapat membuktikan secara detail, terperinci dan terang benderang mengenai alat-alat bukti yang sah dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka.
Hakim Tunggal Praperadilan justru mengenyampingkan dan membatalkan Surat Kejaksaan Tinggi tentang (P-21), Alat Bukti yang sah tersebut, Sprindik serta Surat Penetapan Tersangka Pemohon.